Jumat, 23 September 2011

Masjid, Identitas dan Monumen Islam

Penamaan masjid adalah tradisi baru di dalam dunia Islam, khususnya di Indonesia yang dimulai sejak era orde baru. Jaman dulu masjid tidak pernah diberi nama. Masjid Nabawi (masjid nabi), Masjidil Haram ( masjid suci), Masjidil Aqsa (masjid jauh), Masjid Qiblatain (masjid dua kiblat), Masjid Haji Entong, Masjid Rawa Bacang dan lain lain adalah julukan julukan yang timbul dikemudian hari  dalam suatu proses dari mulut ke mulut masyarakat.
Biasanya nama nama yang dipopulerkan oleh masyarakat ini tanpa disengaja dan hanya untuk memudahkan  identitas lokasi saja. Tentunya anda lebih  mudah mendapat jawaban bila menanyakan dimana alamat masjid “Kramat Sentiong”  dari pada menanyakan dimana masjid “Al Nurul Iman” misalnya.
Sekarang, umat Islam seperti berlomba lomba untuk bermegah megahan dalam membangun masjid, seolah olah yang satu tidak mau kalah megah dengan yang lain. Setiap komplek perumahan baru selalu berusaha membangun masjid yang lebih indah dari pada masjid di komplek perumahan yang lama. Begitu juga di desa desa, kecamatan kecamatan  sampai di kota  kota. Masjid seperti halnya bangunan bangunan spektakuler lainnya sudah menjadi identitas sebuah kawasan. Masjid telah menjadi sebuah Land Mark suatu komplek perumahan, desa, kecamatan, kota bahkan negara.
Saat ini, masjid bukan lagi sekedar “tempat sujud” tetapi sudah menjadi semacam monumen keIslaman!. Kemegahan sebuah  masjid disuatu kawasan  telah membuat kebanggaan tersendiri bagi umat muslim di kawasan tersebut. Mereka seolah olah berkata : Inilah aku!, umat muslim! atau anda telah memasuki kawasan muslim!. Masjid kemudian menjadi sebuah egoisme keakuan komunal atas sebuah identitas. Untuk memperkokoh identitas tersebut lantas masjid pun diberi nama yang keren keren seperti “Al Ini” atau “Al Itu”. Biasanya pemberian nama masjid diawali dengan kata “Al”. Memang, pemberian nama selalu untuk keperluan identitas , tetapi identitas yang bagaimana ?
Nabi saw tidak pernah mendirikan sebuah bangunan yang bersifat monumental, apakah itu berbentuk masjid, istana, atau bangunan bangunan wah lainnya, walaupun beliau dalam kedudukannya mampu melakukan hal itu. Rasulullah saw membangun masjid hanya untuk keperluan yang bersifat fungsional. Masjid Nabawi ( jangan dibayangkan bentuknya seperti sekarang) adalah bangunan sederhana yang dibangun Nabi saw, disamping buat ‘tempat sujud” juga berfungsi sebagai posko darurat kemasyarakatan. Sholat berjamaah di masjid juga beliau manfaatkan  untuk  berinteraksi dengan sesema jama’ah guna mencari solusi solusi bagi jawaban atas  masalah masalah keseharian umatnya.
Di masjid inilah sunnah sunnah beliau di declare hingga kita kenal sampai sekarang. Disamping masjid beliau bangun semacam tenda buat menampung para pengangguran yang harus disantuni kehidupannya. Sampai wafat nya, Rasulullah saw menggunakan masjid sederhana ini sebagai kantornya buat mengurus masalah masalah pemerintahan. Inilah yang dinamakan dengan memakmurkan masjid.
Kemegahan sebuah masjid ditengah samodra kemiskinan umat Islam menurut pendapat saya adalah “penghinaan” kepada Tuhan. Benarkah Tuhan memang senang dengan ornamen ornamen seperti itu?. Seolah olah Tuhan itu seperti bocah balita yang selalu kegirangan bila diajak masuk kesebuah toko mainan anak anak. Kebanggaan akan kemegahan sebuah masjid adalah kebanggaan semu dan kekanak kanakan. Keindahan sebuah masjid bukanlah terletak pada kemonumentalnya tetapi tergantung pada fungsinya bagi masyarakat.
Monumen Islam adalah ajaran ajarannya dan ahlak para pemeluknya. Sebuah agama (termasuk agama Islam) yang tidak bisa menjawab permasalahan umatnya, cepat apa lambat pasti ditinggalkan oleh para pemeluknya. Apabila ini terjadi, maka masjid masjid akan bernasib sama seperti halnya kuil kuil agama purba. Mereka hanya menjadi obyek pariwisata sejarah yang akan dikunjungi oleh anak cucu kita ketika liburan sekolah, melihat sisa sisa tahayul nenek moyang mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates